Jumat, 28 November 2014

Perkembangan Standar Audit yang Relevan dengan Keputusan Opini Going Concern


LATAR BELAKANG
Auditing dapat mengurangi asimetri informasi antara manajemen dan stakeholders perusahaan dengan memungkinkan pihak diluar perusahaan untuk memverifikasi validitas laporan keuangan. Sedangkan opini audit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan laporan audit. Opini audit diekspresikan dalam paragraf pendapat yang merupakan bagian dari laporan audit. Standar Pemeriksaan Akuntan Publik (SPAP,2001:110 alinea 1) menyatakan bahwa dalam penugasan umum, auditor ditugaskan untuk memberikan opini atas laporan keuangan suatu satuan usaha.
Opini yang diberikan merupakan suatu pernyataan kewajaran dalam semua hal yang material atas posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum. Paragraf pendapat dalam laporan audit dengan tegas menyatakan bahwa yang diberikan adalah suatu pendapat, dan bukan suatu pernyataan mutlak atau jaminan. Tanggung jawab auditor terletak pada opini yang diberikan dan isi dari laporan keuangan yang diaudit adalah tanggung jawab manajemen sepenuhnya.
            Terdapat lima jenis opini yang dapat diberikan oleh auditor setelah selesai melakukan pengauditan atas laporan keuangan perusahaan klien (PSA  29, 2001, para : 10), yaitu  Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), Wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelas (unqualified with emphasis matter), Wajar dengan Pengecualian (Qualified Opinion), Tidak Wajar (Adverse Opinion) dan Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer Opinion).           
            Namun demikian, dalam kondisi ketidak pastian seperti perusahaan mengalami financial distrss maka auditor diminta untuk mengevaluasi rencana manajemen untuk mengatasi kesulitan keuangan sebelum memutuskan memberikan opini going concern. Auditor perlu berhati-hati dalam membuat keputusan opini tersebut karena opini going concern yang diterima perusahaan merupakan sinyal adanya keraguan auditor atas kelangsungan usaha perusahaan.
Opini going concern yang diterima perusahaan dapat mengakibatkan menurunnya harga saham (Jones, 1996), kesulitan perusahaan mencari pinjaman (Firth,1980) maupun mempercepat kebangkrutan perusahaan atau self fulfilling prophecy effect (Mutchler, 1984; Hopwood,1989) maupun dapat berdampak terhadap auditor seperti berpindahnya klien (Carcello dan Neal, 2000). Oleh karena dampak dikeluarkannya opini tersebut dapat berakibat bagi perusahaan maupun auditor atau kantor akuntan publik maka auditor perlu berhati-hati sebelum membuat keputusan opini going concern. Auditor perlu memahami secara cermat tentang standar yang mengatur tentang keputusan opini going concern.   

TUJUAN
            Membahas secara ringkas tentang pengertian dan pentingnya opini audit bagi pengguna laporan keuangan. Hal ini dikarenakan opini laporan keuangan sangat berguna bagi pengambil keputusan ekonomi khususnya investor dan kreditor (Lev,1989). Bagi perusahaan financial distress, kemungkinan untuk memperoleh opini going concern lebih besar dibandingkan perusahaan yang tidak mengalami financial distress. 
Lebih lanjut, standar yang relevan dengan keputusan opini going concern mengalami perkembangan, dimulai dari SASs 130 dari APB, SAS 59 dari AICPA maupun implementasinya di Indonesia dengan PSA 30 serta perkembangan terakhir dari IFAC dengan mengeluarkan ISA 570.

PEMBAHASAN
Opini Going-Concern.
            Menurut Belkoui (2000)  going concern adalah dalil yang menyatakan bahwa suatu entitas akan menjalankan terus operasinya dalam jangka waktu yang cukup lama untuk mewujudkan proyeknya, tanggung jawab serta aktivitas-aktivitasnya yang tiada henti. Dalil ini memberikan gambaran bahwa entitas akan diharapkan untuk beroperasi dalam jangka waktu yang tidak terbatas atau tidak diarahkan menuju arah likuidasi. Sebagai contoh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh peralatan, persediaan dsb, seperti asset diharapkan untuk memberikan manfaat beberapa periode mendatang, hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa perusahaan akan terus eksis dimasa yang akan datang.   
            Going concern dipakai sebagai asumsi dalam laporan keuangan sepanjang tidak terbukti adanya informasi yang menunjukkan hal berlawanan. Biasanya informasi yang signifikan dianggap berlawanan dengan asumsi kelangsungan hidup usaha adalah berhubungan dengan ketidakmampuan satuan usaha dalam memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo tanpa melakukan penjualan sebagian besar aktiva kepada pihak luar melalui bisnis biasa, restrukturisasi hutang, kerugian operasi yang berulang terjadi dan kegiatan serupa yang lain (PSA 30, para 1)
          Opini audit laporan keuangan adalah salah satu pertimbangan yang penting bagi investor dalam menentukan keputusan berinvestasi. Oleh karena itu auditor dalam mengeluarkan opini audit suatu perusahaan perlu memberikan suatu pernyataan mengenai kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidup usahanya. Apabila ada keraguan mengenai kelangsungan hidup suatu perusahaan maka auditor perlu mengungkapkan dalam laporan opini audit (Going Concern Audit Report) dimana auditor diizinkan untuk memilih apakah akan mengeluarkan unqualified modified report atau disclaimer opinion. Opini going concern merupakan istilah yang digunakan Mutchler (1986), Ramadhany (2004) dan Rahayu (2006) untuk opini audit selain opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion).  
Terdapat lima kondisi yang menyebabkan adanya penyimpangan dari opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), yaitu: 


Kondisi 1. Ruang Lingkup Audit Dibatasi.
Auditor tidak berhasil mengumpulkan bukti-bukti audit yang mencukupi untuk mempertimbangkan apakah laporan keuangan yang telah diperiksanya disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum di Indonesia, berarti bahwa ruang lingkup auditnya terbatas. Ada dua penyebab utama, yaitu pembatasan yang dipaksakan oleh klien yang disebabkan oleh keadaan diluar kekuasaan auditor maupun klien. Contoh pembatasan oleh klien adalah auditor tidak diperbolehkan melakukan konfirmasi utang piutang atau tidak diperbolehkan memeriksa aset-aset tertentu yang dimiliki oleh klien. Sedangkan contoh pembatasan yang disebabkan oleh keadaan diluar kekuasaan auditor maupun klien adalah sulit melakukan pemeriksaan fisik aset karena lokasi tidak bisa dijangkau akibat banjir atau bencana lainnya.

Kondisi 2. Laporan keuangan yang diperiksa tidak sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum di Indonesia.
Contoh kondisi ini adalah jika klien tidak bersedia mengubah kebijakan mencatat nilai aset tetap berdasarkan harga penggantian (replacement cost) dan bukannya harga historis (historical cost) yang dipersyaratkan oleh prinsip akuntansi yang umum berlaku di Indonesia. Atau klien menilai persediaan yang dimilikinya berdasarkan harga jual (selling price) dan bukannya harga historis atau harga yang terendah antara harga historis dan harga pasar (cost or matket whichever is lower)

Kondisi 3. Prinsip akuntansi yang diterapkan dalam laporan keuangan tidak diterapkan secara konsisten.
Jika klien mengganti suatu perlakukan prinsip akuntansi dengan prinsip akuntansi yang lain, misalnya mengganti metode pencatatan persediaan dari First in First Out (FIFO) menjadi Last In First Out (LIFO), maka perubahan tersebut harus dinyatakan dalam laporan audit. Bahkan jika penggunaan perubahan tersebut disetujui oleh auditor, pendapat unqualified tetap tidak dapat dibenarkan.

Kondisi 4. Ada beberapa ketidakpastian yang meterial yang mempengaruhi laporan keuangan yang tidak dapat diperkirakan kelanjutannya pada saat laporan audit dibuat.
Contoh kondisi ini adalah kemungkinan adanya tuntutan hukum kepada klien yang belum terselesaikan sampai dengan selesainya pekerjaan lapangan oleh auditor.

Kondisi 5. Auditor tidak independen.
Hal ini sangat jelas tidak diperkenankan memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian. Masalah independen auditor diatur secara jelas dalam standar auditing.
Pentingnya laporan audit yang berhubungan dengan going concern perusahaan adalah untuk memberikan peringatan awal bagi pemegang saham guna menghindari kesalahan dalam pembuatan keputusan. Hal ini telah diatur dalam PSA 29 paragraf 11 yang menyatakan bahwa keraguan yang besar tentang kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (going concern) merupakan keadaan yang mengharuskan auditor menambahkan paragraf penjelasan dalam laporan audit walaupun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian.
            Akers et al. (2003) menyatakan bahwa auditor tidak diminta untuk melakukan prosedur audit khusus untuk menentukan adanya keraguan akan kemampuan perusahaan untuk mempertahankan usahanya. Prosedur audit yang dilakukan sama dengan prosedur audit lainnya, antara lain seperti prosedur analitik, penelaahan ketaatan perusahaan terhadap perjanjian hutang . Dalam melaksanakan prosedur audit, auditor bertanggung jawab untuk mengevaluasi adanya kondisi dan peristiwa yang dapat menimbulkan kesangsian besar terhadap kemampuan perusahaan untuk mempertahankan hidupnya (PSA 30) seperti antara lain adanya modal kerja  negatif, rugi operasi , arus kas operasi negatif, buruknya rasio-rasio keuangan penting,  adanya tuntutan pengadilan / litigasi, hilangnya manajemen kunci. Konsisten dengan temuan Mutchler (1984) yang meneliti persepsi auditor tentang pembuatan keputusan opini going concern, hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar auditor tidak melakukan prosedur audit khusus untuk mendeteksi adanya masalah going concern

Perkembangan Standar Audit Yang Relevan Dengan Keputusan Opini Going Concern
                Untuk dapat memahami lebih dalam tentang opini going concern perlu kiranya memahami peraturan yang terkait dengan peraturan going concern dari awal periode sampai saat ini. Terdapat empat standar auditing yang mengatur tentang opini going concern, yaitu SASs 130 dari APB (UK), SAS 59 dari AICPA, SPAP 29 dan 30 dari IAI  dan ISA 570 dari IFAC .       
1. SASs 130 ( APB )
Konsep going concern untuk pertama kalinya diperkenalkan secara formal pada tahun 1980 ketika U.K Auditing Practices Committee (APC) mengeluarkan standar auditing pertama. Namun standar tersebut tidak memasukkan petunjuk khusus tentang going concern tetapi hanya merujuk konsep dalam contoh laporan audit.
            Pada tahun 1985, pertama kalinya di U.K mengeluarkan petunjuk secara spesifik tentang auditing yang terkait dengan going concern dengan judul “The Auditor’s Consideration in Respect of Going Concern” (APC,1985b). Pada tahun tersebut, pedoman audit menyatakan dengan jelas bahwa persiapan dan publikasi laporan keuangan merupakan tanggung jawab utama direktur dan Company Act (1985) meminta direktur untuk mempersiapkan laporan keuangan dengan asumsi bahwa perusahaan akan berjalan terus / going concern. Pedoman APC (1985, para 1-2) mengklarifikasi bahwa tanggung jawab direktur adalah tentang kecukupan asumsi dasar pada laporan keuangan. Penyimpangan terhadap prinsip going concern dapat dilakukan oleh direktur jika terdapat alasan tertentu. Penjelasan dari penyimpangan, alasan melakukan penyimpangan dan dampak yang ditimbulkan diminta untuk diungkapkan dalam laporan keuangan. Pedoman auditing yang sama juga mempertimbangkan adanya istilah “foreeable future”, yang memberikan petujunjuk bahwa secara normal dapat diperluas sampai enam bulan setelah tanggal laporan keuangan atau satu tahun setelah tanggal laporan keuangan tergantung periode mana yang terakhir.
                Apabila ketidakpastian dari going concern tidak dapat diestimasikan dan diungkapkan, pedomannya menyatakan untuk memberikan tipe kualifikasi “subject to” (APC,1985,para 27-28) jika masih terkait dengan konsep going concern yang material bukan fundamental. Namun apabila ketidakpastian dipertimbangkan sebagai hal yang “fundamental”, pedomannya memberikan petunjuk untuk “disclaimer opinion” yang lebih layak (APC,1985,para 29) dan didalam beberapa kasus dimana bukti dari going concern sulit untuk tidak dimunculkan direkomendasi untuk opini “except for” atau “adverse” (APC, 1985, para.30). Pada tahun 1985 terdapat petunjuk untuk mengeluarkan unqualified opinion apabila ketidak pastian dapat secara layak untuk diperkirakan dan diungkapkan atau pekerjaan audit tidak dapat mengungkap adanya bukti yang “contrary” atau apabila evaluasi terhadap “mitigating factors” menyatakan bahwa asumsi going concern masih dapat dipertahankan.(APC,1985, para 12 dan 13). Keputusan going concern merupakan hal penting dalam pertimbangan professional (APC,1985, para 22) karena mengandung unsur subyektivitas dalam evaluasi auditor terhadap masalah going concern. SASs 130 pada akhirnya memberikan penekanan bahwa auditor tidak seharusnya menahan diri dalam memberikan kualifikasi pada laporannya jika terdapat hal-hal yang berlawanan dan  Self-fulfilling prophecy  dirasakan  berkaitan secara khusus dengan petunjuk ini.  



Berkaitan dengan SASs 130, disajikan gambar yang akan memberikan persepsi yang lebih jelas tentang posisi opini going concern diantara opini lainnya dalam laporan audit.

2.  SAS NO.59 ( AICPA )
                Peraturan going concern di USA dimulai tahun 1942 ketika AICPA mengeluarkan “Statement on Auditing Procedure” (SAP) No.15 pada tahun 1942, untuk mempertimbangkan dampak ketidak pastian (uncertainties) dalam laporan audit. Pernyataan tersebut mengemukakan bahwa apabila terdapat dampak dari ketidak pastian yang secara kumulatif jumlahnya cukup besar maka auditor harus melaporkan pengecualian atau kemungkinan untuk tidak mengeluarkan pendapat. Selanjutnya SEC didalam Accounting Series Release (ASR) No.90 (1962) dan AICPA didalam SPAP No.33 (1963) meminta opini audit “qualified” dengan kalimat “subject to“  ketika ketidak pastian secara material mempengaruhi laporan keuangan .
                Pertama kali perhatian secara terpisah tentang ketidakpastian going concern diberikan melalui “Satetement on Auditing Standards” (SAS) No.2 (1974) yang memasukkan adanya ketidak pastian tentang kemampuan perusahaan untuk melanjutkan usahanya yang harus dilaporkan dalam ketidakpastian lainnya. Kemudian pada tahun 1981, the Auditing Standards Board (ASB) mengeluarkan SAS No.34, “The Auditor’s Consideration When a Question Arises about an Entity’s Continued Existence” yang memberikan petunjuk operasional kepada auditor ketika timbul pertanyaan tentang keberlanjutan perusahaan. Berkaitan dengan adanya premis bahwa laporan harus dimodifikasi jika terdapat ketidak  pastian going concern (berlawanan dengan Cohen Comission’s 1978 yang merekomendasi untuk menghilangkan laporan modifikasi tentang ketidakpastian), SAS No.34 mempertahankan kualifikasi “subject to”. Walaupun dengan SAS No.34 , auditor diminta untuk mempertimbangkan isu going concern ketika hasil dari prosedur audit menemukan adanya informasi yang berlawanan dengan keberlanjutan usaha. SAS No.34 bersifat pasif dimana auditor tidak diminta untuk mencari bukti yang terkait dengan keberlanjutan perusahaan, Going concern masih diasumsikan.
           Setelah mempertimbangkan dengan seksama the Auditing Standars Board, pada tahun 1988 mengeluarkan SAS No. 59  tentang “ The Auditor’s Consideration of an Entity’s Ability to Continue as a Going Concern”, yang didalam paragraph 2 menyebutkan :
           “The auditor has a responsibility to evaluate whether there is substantial doubt abaut the entity ability to continue as going concern for reasonable period of time, not to exceed one year beyond the date of the financial statements being audited (hereinafter referred to as reasonable period of time). The auditors evaluation is based on his knowledge of relevant conditions and events that exist at or have occurred prior to the completion of fieldwork. Information about such conditions or events is obtain from the application of auditing procedures planned and performed to achieve audit objectives that are  related to managements assertions embodied in the financial statements being audited, as described in Seksi 326, Evidential Matter” 
           AU Seksi 341 (SAS No.59) mengharuskan auditor memberikan warning kepada pemakai laporan keuangan, akan adanya suatu kesangsian mengenai kemampuan perusahaan sebagai suatu entitas, untuk bisa bertahan hidup, paling tidak dalam satu periode akuntansi setelah periode laporan keuangan atau disebut juga dengan “periode waktu pantas”. Entitas yang dimaksud disini adalah “economic entity” bukan “legal entity” . Pada beberapa kasus bisa saja ditemukan adanya perusahaan yang secara ekonomi tidak lagi beroperasi, tetapi secara legal belum dibubarkan atau yang dikenal dengan istilah ”PT Kosong”.
           SAS No.59 meminta auditor secara aktif untuk mempertimbangkan apakah hasil prosedur pemeriksaan yang dilakukan menunjukkan adanya keraguan tentang kemampuan perusahaan untuk melanjutkan usahanya sebagai going concern . Standard tersebut memberikan petunjuk tentang kondisi atau kejadian yang perlu dipertimbangkan auditor ketika terdapat informasi yang bertentangan dengan asumsi pelaporan keuangan yang menyatakan perusahaan akan tetap eksis. Kondisi dan kejadian tersebut termasuk trend negative seperti kerugian operasi yang berulang, kegagalan dalam membayar pinjaman, restrukturisasi hutang, berhentinya pekerjaan dan kesulitan masalah tenaga kerja dan faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan hambatan perusahaan untuk beroperasi. SAS No.59 juga meminta auditor untuk mempertimbangkan rencana manajemen untuk mengatasi kondisi kesulitan tersebut. Jika terdapat keraguan tentang kemampuan perusahaan untuk melanjutkan usahanya dalam satu periode waktu yang tidak lebih dari satu tahun setelah tanggal laporan keuangan dan setelah mengevaluasi  rencana manajemen maka auditor harus memasukkan paragraph penjelas dalam opininya.
           SAS 59 memperluas dengan “ ……the auditor’s traditional role in reporting on the ability of the company to stay in business beyond the effect on assets and liabilities”. Pernyataan tersebut sebelumnya telah tercantum pada SAS No.34 ( Ellingsen et.al.,1989). SAS No.58 merubah format laporan audit going concern seperti laporan yang meminta perhatian terhadap adanya ketidakpastian, dengan paragraph penjelasan ketika terjadi keraguan besar terhadap kemampuan perusahaan untuk melanjutkan usahanya. Setelah SAS No.59 , laporan audit going concern dipertimbangkan menjadi      modified” opinion. Beberapa penelitian tentang keputusan opini going concern menggunakan data dari periode waktu sebelum diberlakukannya SAS No.59. Penelitian pertama yang menggunakan data setelah SAS No.59 dilakukan oleh Raghunandan and Rama (1995) yang membuktikan bahwa auditor mengeluarkan opini going concern baik kepada perusahaan yang kemudian menjadi bangkrut maupun kepada perusahaan yang mengalami kegagalan keuangan tetapi tidak bangkrut. Mereka juga membuktikan bahwa proporsi perusahaan bangkrut yang sebelumnya menerima opini going concern secara signifikan lebih besar setelah berlakunya SAS No.59 secara efektif, dilaporkan sejumlah 62% perusahaan bangkrut setelah SAS No.59 sebelumnya menerima opini going concern satu tahun sebelum kebangkrutan.

3. Pernyataan Standar Auditing (PSA)  No.30. ( IAI )                    
          Indonesia mengadopsi AU Seksi 341 (SAS No.59) menjadi SA Seksi 341 (PSA No.30)  tentang “ Pertimbangan Auditor atas Kemampuan Entitas dalam Mempertahankan Kelangsungan Hidupnya”, yang berlaku secara efektif mulai tahun 1998.  SA seksi 341 paragraf 2 mewajibkan auditor bertanggung jawab untuk mengevaluasi apakah terdapat kesangsian besar terhadap kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam periode pantas tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal laporan keuangan diaudit. Auditor harus melakukan evaluasi apakah terdapat “kesangsian” bukan “kepastian”. Kesangsian dimaksud berada antara tanggal neraca hingga tanggal neraca tahun berikutnya, atau dengan kata lain mencakup juga semua peristiwa setelah tanggal neraca ( peristiwa kemudian ). Peristiwa setelah tanggal neraca harus dievaluasi, untuk menentukan ada tidaknya kesangsian besar terhadap kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.  Berkaitan dengan laporan auditor atas laporan keuangan auditan,  PSA 29 paragraf 11  menyatakan bahwa keraguan yang besar tentang kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (going concern) merupakan keadaan yang mengharuskan auditor menambahkan paragraf penjelasan dalam laporan audit walaupun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian
          PSA 30 paragraf 6 menyebutkan bahwa auditor dapat mengidentifikasi informasi mengenai kondisi atau peristiwa tertentu yang jika dipertimbangkan secara keseluruhan, menunjukkan adanya kesangsian besar tentang kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu yang pantas.Contoh kondisi dan peristiwa tersebut :
  1. Trend negatif, sebagai contoh kerugian operasi yang berulangkali terjadi, kekurangan modal kerja, arus kas negatif dari kegiatan usaha, rasio keuangan penting yang jelek.
  2. Petunjuk lain tentang kemungkinan kesulitan keuangan, sebagai contoh kegagalan dalam memenuhi kewajiban utangnya atau perjanjian serupa, penunggakan pembayaran deviden, penolakan oleh pemasok terhadap pengajuan permintaan kredit biasa, restrukturisasi utang, kebutuhan untuk mencari sumber atau metode pendanaan baru atau penjualan sebagian besar aktiva.
  3. Masalah intern, sebagai contoh, pemogokan kerja atau kesulitan hubungan perburuhan yang lain, ketergantungan besar atas sukses proyek tertentu, komitmen jangka panjang yang tidak bersifat ekonomis, kebutuhan untuk secara signifikan memperbaiki operasi.
  4. Masalah luar yang terjadi, sebagai contoh, pengaduan gugatan pengadilan, keluarnya undang-undang atau masalah masalah lain yang kemungkinan membahayakan kemampuan entitas untuk beroperasi ; kehilangan franchise, lisensi atau paten penting, kehilangan pelanggan atau pemasok utama ; kerugian akibat bencana besar seperti gempa bumi, banjir, kekeringan , yang tidak diasuransikan atau diasuransikan namun dengan pertanggungan yang tidak memadai. 
           PSA 30 paragraf 10 – 14  memberikan pedoman kepada auditor tentang dampak kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya terhadap opini auditor, pedoman tersebut sebagai berikut :
v  Jika auditor yakin bahwa terdapat kesangsian mengenai kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu yang pantas, maka auditor harus :
1.      Memperoleh informasi mengenai rencana manajemen yang ditujukan untuk mengurangi dampak kondisi dan peristiwa tersebut.
2.      Menetapkan kemungkinan bahwa rencana tersebut secara efektif dilaksanakan.
v  Jika manajemen tidak memiliki rencana yang mengurangi dampak kondisi dan peristiwa terhadap kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, auditor mempertimbangkan untuk memberikan pernyataan tidak memberikan pendapat ( Discalimer )
v  Jika manajemen memiliki rencana tersebut, langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh auditor adalah menyimpulkan (berdasarkan pertimbangannya) atas efektivitas rencana tersebut,
1.      Jika auditor berkesimpulan rencana tidak efektif, maka auditor menyatakan tidak memberikan pendapat (Disclaimer)
2.      Jika auditor berkesimpulan rencana tersebut efektif dan klien mengungkapkan keadaan tersebut dalam catatan atas laporan keuangan, maka auditor menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian  (Unqualified Opinion With Emphasis of Matter Paragraph)
3.      Jika auditor berkesimpulan rencana tersebut efektif akan tetapi klien tidak mengungkapkan keadaan tersebut dalam catatan atas laporan keuangan maka auditor menyatakan pendapat tidak wajar (Qualified/ Adverse Opinion)


4. International  Standard On Auditing (ISA) No. 570 ( IFAC )
          International Standard on Auditing (ISA) dikeluarkan oleh International Federation of Accountants (IFAC) yang merupakan panduan audit di negara-negara anggota IFAC. IFAC telah mengeluarkan ISA No. 570 tentang “ Going Concern” yang berlaku efektif sejak tahun 2004. ISA No.570 menegaskan bahwa tanggung jawab auditor eksternal hanya melakukan pertimbangan atas ketetapan asumsi going concern yang digunakan oleh manajemen dalam menyusun laporan keuangan. ISA No.570 menegaskan bahwa going concern entitas yang diaudit harus dapat dipertahankan paling tidak dua belas bulan setelah tanggal neraca. Berbeda dengan AU seksi 341, yang secara kaku menyebutkan bahwa going concern harus dapat dipertahankan selama periode waktu yang pantas yang tidak lebih dari dua belas bulan setelah tanggal neraca. Standar tersebut tidak memberikan pembatasan, hal ini bertujuan agar auditor tidak mengabaikan informasi terkait dengan peristiwa setelah tanggal neraca yang dapat diperoleh dari catatan atas laporan keuangan. Disamping hal tersebut, ISA No.570 paragraf 10 juga menegaskan bahwa tidak terdapatnya penjelasan mengenai adanya ketidakpastian oleh auditor eksternal pada opininya, tidaklah menjadi jaminan bahwa kelangsungan hidup perusahaan tidak akan bermasalah.
          Evaluasi atas kemampuan entitas bisnis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, dilakukan oleh auditor eksternal atas data keuangan dan non-keuangan yang dia peroleh. Bukan tidak mungkin terdapat faktor eksternal yang tidak dapat diprediksi sebelumnya, yang mengakbatkan suatu entitas bisnis mengalami kebangkrutan. Jika itu terjadi, maka hal tersebut diluar tanggung jawab auditor eksternal. Opini audit yang diberikan oleh auditor dapat dilihat dari diagram berikut ini :

PENUTUP

            Standar audit yang relevan dengan keputusan opini going concern secara keseluruhan mengatur tentang opini yang diberikan auditor, apabila terdapat peristiwa yang menimbulkan keraguan auditor atas kelangsungan usaha perusahaan. Opini tersebut perlu diperhatikan oleh pengguna laporan keuangan karena memberi indikasi bahwa perusahaan sedang menghadapi masalah going concern.
Perbedaan yang sangat jelas antara SA seksi 341 atau PSA 30 (2001) yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dengan standar yang terakhir yaitu   ISA No.570 adalah dalam hal peranan auditor eksternal dalam mengevaluasi asumsi yang digunakan manajemen perusahaan dalam menyusun laporan keuangan. ISA No. 570 menyerahkan  sepenuhnya penaksiran kepada manajemen perusahaan, dan auditor eksternal hanya melakukan evaluasi apakah manajemen telah menggunakan asumsi yang benar. ISA No.570 tidak memberikan pedoman bagi akuntan publik dalam pemodifikasian laporan keuangan. Auditor eksternal hanya diperbolehkan memodifikasi opini audit. Berbeda dengan SA seksi 341 yang membolehkan keterlibatan auditor dalam pemodifikasian laporan keuangan dengan memberikan pedoman pengungkapan laporan keuangan.



 

Perkembangan Standar Audit & Standar Etika Profesi Akuntansi



PERKEMBANGAN STANDAR AUDIT & PERKEMBANGAN STANDAR PROFESI ETIKA AUDIT

A.          Perkembangan Standar Audit
Standar Auditing adalah sepuluh standar yang ditetapkan dan disahkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), yang terdiri dari standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan beserta interpretasinya. Standar auditing merupakan pedoman audit atas laporan keuangan historis. Standar auditing terdiri atas sepuluh standar dan dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Auditing (PSA). Dengan demikian PSA merupakan penjabaran lebih lanjut masing-masing standar yang tercantum di dalam standar auditing.
PSA merupakan penjabaran lebih lanjut dari masing-masing standar yang tercantum di dalam standar auditing. PSA berisi ketentuan-ketentuan dan pedoman utama yang harus diikuti oleh Akuntan Publik dalam melaksanakan penugasan audit. Kepatuhan terhadap PSA yang diterbitkan oleh IAPI ini bersifat wajib bagi seluruh anggota IAPI. Termasuk di dalam PSA adalah Interpretasi Pernyataan Standar Auditng (IPSA), yang merupakan interpretasi resmi yang dikeluarkan oleh IAPI terhadap ketentuan-ketentuan yang diterbitkan oleh IAPI dalam PSA. Dengan demikian, IPSA memberikan jawaban atas pernyataan atau keraguan dalam penafsiran ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam PSA sehingga merupakan perlausan lebih lanjut berbagai ketentuan dalam PSA. Tafsiran resmi ini bersifat mengikat bagi seluruh anggota IAPI, sehingga pelaksanaannya bersifat wajib.

Standar Umum
  1. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
  2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
  3. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.

Standar Pekerjaan Lapangan
  1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.
  2. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh unutk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
  3. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

Standar Pelaporan
  1. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
  2. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.
  3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
  4. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor.

Tahun 1972, pertama kalinya ikatan Akuntan Indonesia berhasil menerbitkan Norma Pemeriksaan Akuntan, yang disahkan dalam Kongres ke III Ikatan Akuntan Indonesia. Norma Pemeriksaan Akuntan tersebut mencakup tanggung jawab akuntan publik, unsur-unsur norma pemeriksaan akuntan yang antara lain meliputi: pengkajian dan penilaian pengendalian intern, bahan pembuktian dan penjelasan informatif, serta pembahasan mengenai peristiwa kemudian, laporan khusus dari berkas pemeriksaan. Pada Kongres IV Ikatan Akuntan Indonesia tanggal 25-26 Oktober 1982, Komisi Norma Pemeriksaan Akuntan mengusulkan agar segera dilakukan penyempurnaan atas buku Norma Pemeriksaan Akuntan yang lama, dan melengkapinya dengan serangkaian suplemen yang merupakan penjabaran lebih lanjut norma tersebut. Untuk melaksanakan tugas tersebut, telah dibentuk Komite Norma Pemeriksaan Akuntan yang baru untuk periode kepengurusan 1982-1986, yang anggotanya berasal dari unsur-unsur akuntan pendidik, akuntan publik dan akuntan pemerintah. Komite ini telah menyelesaikan konsep Norma Pemeriksaan Akuntan yang disempurnakan pada tanggal 11 Maret 1984. Pada tanggal 19 April 1986, Norma Pemeriksaan Akuntan yang telah diteliti dan disempurnakan oleh Tim Pengesahan, disahkan oleh Pengurus Pusat Ikatan Akuntan Indonesia sebagai norma pemeriksaan yang berlaku efektif selambat-lambatnya untuk penugasan pemeriksaan atas laporan keuangan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 1986. Tahun 1992, Ikatan Akuntan Indonesia menerbitkan Norma Pemeriksaan Akuntan, Edisi revisi yang memasukkan suplemen No.1 sampai dengan No.12 dan interpretasi No.1  sampai dengan Nomor.2. Dalam Kongres ke VII Ikatan Akuntan Indonesia tahun 1994, disahkan Standar Profesional Akuntan Publik yang secara garis besar berisi:
1.      Uraian mengenai standar profesional akuntan publik.
2.      Berbagai pernyataan standar auditing yang telah diklasifikasikan.
3.      Berbagai pernyataan standar atestasi yang telah diklasifikasikan.
4.      Pernyataan jasa akuntansi dan review.
5.      Pertengahan tahun 1999 Ikatan Akuntan Indonesia merubah nama Komite Norma
Pemeriksaan Akuntan menjadi Dewan Standar Profesional Akuntan Publik. Selama tahun 1999 Dewan melakukan perubahan atas Standar Profesional Akuntan Publik per 1 Agustus 1994 dan menerbitkannya dalam buku yang diberi judul “Standar Profesional Akuntan Publik per 1 Januari 2001”. Standar Profesional Akuntan Publik per 1 Januari 2001 terdiri dari lima standar, yaitu:
1.  Pernyataan Standar Auditing (PSA) yang dilengkapi dengan Interpretasi Pernyataan Standar Auditing (IPSA).
2.   Pernyataan Standar Atestasi (PSAT) yang dilengkapi dengan Interpretasi Pernyataan Standar Atestasi (IPSAT).
3.  Pernyataan Standar Jasa Akuntansi dan Review (PSAR) yang dilengkapi dengan Interpretasi Pernyataan Standar Jasa Akuntansi dan Review (IPSAR).
4.  Pernyataan Standar Jasa Konsultasi (PSJK) yang dilengkapi dengan Interpretasi Pernyataan Standar Jasa Konsultasi (IPSJK).
5.  Pernyataan Standar Pengendalian Mutu (PSPM) yang dilengkapi dengan Interpretasi Pernyataan Standar Pengendalian Mutu (IPSM). Selain kelima standar tersebut masih dilengkapi dengan Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik yang merupakan aturan normal yang wajib dipenuhi oleh akuntan publik.

B.          Perkembangan Standar Etika Profesi Akuntansi
Profesi akuntan sudah ada sejak abad ke-15, walaupun sebenarnya masih dipertentangkan para ahli mengenai kapan sebenarnya profesi ini dimulai. Di Inggris pihak yang bukan pemilik dan bukan pengelola yang sekarang disebut auditor diminta untuk memeriksa mengenai kecurigaan yang terdapat di pembukuan laporan keuangan yang disampaikan oleh pengelola kekayaan pemilik harta.
Menurut sejarahnya para pemilik modal menyerahkan dananya kepada orang lain untuk dikelola/ dimanfaatkan untuk kegiatan usaha yang hasilnya nanti akan dibagi antara pemilik dan pengelola modal tadi. Kalau kegiatan ini belum besar umumnya kedua belah pihak masih dapat saling percaya penuh sehingga tidak diperlukan pemeriksaan. Namun semakin besar volume kegiatan usaha, pemilik dana kadang-kadang merasa was-was kalau-kalau modalnya disalahgunakan oleh pengelolanya atau mungkin pengelolanya memberikan informasi yang tidak obyektif yang mungkin dapat merugikan pemilik dana.
Keadaan inilah yang membuat pemilik dana membutuhkan pihak ketiga yang dipercaya oleh masyarakat untuk memeriksa kelayakan atau kebenaran laporan keuangan pengelola dana. Pihak itulah yang dikenal sebagai Auditor.
Menurut International Federation of Accountants (dalam Regar, 2003) yang dimaksud dengan profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan yang bekerja di pemerintah, dan akuntan sebagai pendidik.
Agar profesi Akuntan dianggap sebagai salah satu bidang profesi seperti organisasi lainnya, maka harus memiliki beberapa syarat sehingga masyarakat sebagai objek dan sebagai pihak yang memerlukan profesi, mempercayai hasil kerjanya. Adapun ciri profesi menurut Harahap (1991) adalah sebagai berikut:
1.   Memiliki bidang ilmu yang ditekuninya yaitu yang merupakan pedoman dalam melaksanakan keprofesiannya.
2.  Memiliki kode etik sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku anggotanya dalam profesi itu.
3.    Berhimpun dalam suatu organisasi resmi yang diakui oleh masyarakat/pemerintah
4.    Keahliannya dibutuhkan oleh masyarakat.
5.   Bekerja bukan dengan motif komersil tetapi didasarkan kepada fungsinya sebagai kepercayaan masyarakat.

Persyaratan ini semua harus dimiliki oleh profesi Akuntan sehingga berhak disebut sebagai salah satu profesi.

Perkembangan profesi akuntan di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
a) Masa Orde Lama
Praktik akuntansi di Indonesia dapat ditelusur pada era penjajahan Belanda sekitar tahun 1642. Jejak yang jelas berkaitan dengan praktik akuntansi di Indonesia dapat ditemui pada tahun 1747, yaitu praktik pembukuan yang dilaksanakan Amphioen Sociteyt yang berkedudukan di Jakarta. Pada era ini Belanda mengenalkan sistem pembukuan berpasangan (double-entry bookkeeping) sebagaimana yang dikembangkan oleh Luca Pacioli. Perusahaan VOC milik Belanda-yang merupakan organisasi komersial utama selama masa penjajahan-memainkan peranan penting dalam praktik bisnis di Indonesia selama era ini.
Kegiatan ekonomi pada masa penjajahan meningkat cepat selama tahun 1800an dan awal tahun 1900an. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya tanam paksa sehingga pengusaha Belanda banyak yang menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kegiatan ekonomi mendorong munculnya permintaan akan tenaga akuntan dan juru buku yang terlatih. Akibatnya, fungsi auditing mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun 1907. Peluang terhadap kebutuhan audit ini akhirnya diambil oleh akuntan Belanda dan Inggris yang masuk ke Indonesia untuk membantu kegiatan administrasi di perusahaan tekstil dan perusahaan manufaktur. Internal auditor yang pertama kali datang di Indonesia adalah  J.W Labrijn-yang sudah berada di Indonesia pada tahun 1896 dan orang pertama yang melaksanakan pekerjaan audit (menyusun dan mengontrol pembukuan perusahaan) adalah Van Schagen yang dikirim ke Indonesia pada tahun 1907.
Pengiriman Van Schagen merupakan titik tolak berdirinya Jawatan Akuntan Negara-Government Accountant Dienst yang terbentuk pada tahun 1915. Akuntan publik yang pertama adalah Frese & Hogeweg yang mendirikan kantor  di Indonesia pada tahun 1918. Pendirian kantor ini diikuti kantor akuntan yang lain yaitu kantor akuntan H.Y.Voerens pada tahun 1920 dan pendirian Jawatan Akuntan Pajak-Belasting Accountant Dienst. Pada era penjajahan, tidak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai akuntan publik. Orang Indonesa pertama yang bekerja di bidang akuntansi adalah JD Massie, yang diangkat sebagai pemegang buku pada Jawatan Akuntan Pajak pada tanggal 21 September 1929.
Kesempatan bagi akuntan lokal (Indonesia) mulai muncul pada tahun 1942-1945, dengan mundurnya Belanda dari Indonesia. Pada tahun 1947 hanya ada satu orang akuntan yang berbangsa Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari. Praktik akuntansi model Belanda masih digunakan selama era setelah kemerdekaan (1950an). Pendidikan dan pelatihan akuntansi masih didominasi oleh sistem akuntansi model Belanda. Pada tahun 1957, kelompok pertama mahasiswa akuntansi lulus dari Universitas Indonesia. Namun demikian, kantor akuntan publik milik orang Belanda tidak mengakui kualifikasi mereka. Atas dasar kenyataan tersebut, akuntan lulusan Universitas Indonesia bersama-sama dengan dengan akuntan senior lulusan Belanda mendirikan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada tanggal 23 Desember 1957. professor Soemarjo Tjitrosidojo – akademisi berpendidikan Belanda adalah Ketua Umum IAI yang pertama. Tujuan didirikannya IAI ini antara lain mempromosikan status profesi akuntansi, mendukung pembangunan nasional dan meningkatkan keahlian serta kompetensi akuntan.
Atas dasar nasionalisasi dan kelangkaan akuntan, Indonesia pada akhirnya berpaling ke praktik akuntansi model Amerika. Namun demikian, pada era ini praktik akuntansi model Amerika mampu berbaur dengan akuntansi model Belanda, terutama yang terjadi di lembaga pemerintah. Makin meningkatnya jumlah institusi pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan akuntansi, seperti pembukaan jurusan akuntansi di Universitas Indonesia 1952, Institute Ilmu Keuangan (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara-STAN) 1990, Univesitas Padjajaran 1961, Universitas Sumatera Utara 1962, Universitas Airlangga 1962 dan Universitas Gadjah Mada 1964 telah mendorong pergantian praktik akuntansi model Belanda dengan model Amerika pada tahun 1960.
Selama tahun 1960an, menurunnya peran kegiatan keuangan mengakibatkan penurunan permintaan jasa akuntansi dan kondisi ini berpengaruh pada perkembangan profesi akuntansi di Indonesia. Namun demikian, perubahan kondisi ekonomi dan politik yang terjadi pada akhir era tersebut, telah mendorong pertumbuhan profesi akuntansi.

b) Masa Orde Baru
Profesi akuntansi mulai berkembang cepat sejak tahun 1967 yaitu setelah dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri 1968. Usaha profesionalisasi IAI mendapat sambutan ketika dilaksanakan konvensi akuntansi yang pertama yaitu pada tahun 1969. hal ini terutama disebabkan oleh adanya Surat Keputusan Menteri Keuangan yang mewajibkan akuntan bersertifikat menjadi anggota IAI.
Pada tahun 1970 semua lembaga harus mengadopsi sistem akuntansi model Amerika. Pada pertengahan tahun 1980an, sekelompok tehnokrat muncul dan memiliki kepedulian terhadap reformasi ekonomi dan akuntansi. Kelompok tersebut berusaha untuk menciptakan ekonomi yang lebih kompetitif dan lebih berorientasi pada pasar-dengan dukungan praktik akuntansi yang baik. Kebijakan kelompok tersebut memperoleh dukungan yang kuat dari investor asing dan ­lembaga-lembaga internasional.
Pada tahun 1973, IAI membentuk “Komite Norma Pemeriksaan Akuntan” (KNPA) untuk mendukung terciptanya perbaikan ujian akuntansi (Bahciar 2001). Yayasan Pengembangan Ilmu Akuntansi Indonesia (YPAI) didirikan pada tahun 1974 untuk mendukung pengembangan profesi melalui program pelatihan dan kegiatan penelitian. Selanjutnya pada tahun 1985 dibentuk Tim Koordinasi Pengembangan Akuntansi (TKPA). Kegitan TKPA ini didukung sepenuhnya oleh IAI dan didanai oleh Bank Dunia sampai berakhir tahun 1993. misinya adalah untuk mengembangkan pendidikan akuntansi, profesi akuntansi, standar profesi dan kode etik profesi.
Kemajuan selanjutnya dapat dilihat pada tahun 1990an ketika Bank Dunia mensponsori Proyek Pengembangan Akunatan (PPA). Melalui proyek ini, berbagai standar akuntansi dan auditing dikembangkan, standar profesi diperkuat dan Ujian Sertifikasi Akuntan Publik (USAP) mulai dikenalkan. Ujian Sertifikasi Akuntan Publik berstandar Internasional diberlakukan sebagai syarat wajib bagi akuntan publik yang berpraktik sejak tahun 1997 (akuntan yang sudah berpraktik sebagai akuntan public selama 1997 tidak wajib mengikuti USAP). Pengenalan USAP ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Hal ini dapat dilihat SK Menteri Keuangan No. 43/ KMK. 017/ 1997 yang berisi ketentuan tentang prosedur perizinan, pengawasan, dan sanksi bagi akuntan public yang bermasalah (SK ini kemudian diganti dengan SK No. 470/ kmk.017/ 1999).
Empat puluh lima tahun setelah pendirian, IAI berkembang menjadi organisasi profesi yang diakui keberadaanya di Indonesia dan berprofesi sebagai akuntan publik, akuntan manajemen, akuntan pendidikan dan akuntan pemerintahan. Profesi akuntansi menjadi sorotan publik ketika terjadi krisis keuangan di Asia pada tahun 1997 yang ditandai dengan bangkrutnya berbagai perusahaan dan Bank di Indonesia. Hal ini disebabkan perusahaan yang mengalami kebangkrutan tersebut, banyak yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian (unqualified audit opinions) dari akuntan publik. Pada bulan Juni 1998 Asian Devloment Bank (ADB) menyetujui Financial Governance Reform Sector Develoment Program (FGRSDP) untuk mendukung usaha pemerintah mempromosikan dan memperkuat proses pengelolaan perusahaan (governance) di sektor public dan keuangan. Kebijakan FGRSDP yang disetujui pemerintah adalah usaha untuk menyusun peraturan yang membuat :
1) Auditor bertanggung jawab atas kelalaian dalam melaksanakan audit
2) Direktur bertanggung jawab atas informasi yang salah dalam laporan keuangan dan informasi publik lainnya.

c) Masa Sekarang
Jatuhnya nilai rupiah pada tahun 1997-1998 makin meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan. Sampai awal 1998, kebangkrutan konglomarat, collapsenya sistem perbankan, meningkatnya inflasi dan pengangguran memaksa pemerintah bekerja sama dengan IMF dan melakukan negosiasi atas berbagai paket penyelamat yang ditawarkan IMF. Pada waktu ini, kesalahan secara tidak langsung diarahkan pada buruknya praktik akuntansi dan rendahnya kualitas keterbukaan informasi (transparency).
Walaupun demikian, keberadaan profesi akuntan tetap diakui oleh pemerintah sebagai sebuah profesi kepercayaan masyarakat. Di samping adanya dukungan dari pemerintah, perkembangan profesi akuntan publik juga sangat ditentukan ditentukan oleh perkembangan ekonomi dan kesadaran masyarakat akan manfaat jasa akuntan publik. Beberapa faktor yang dinilai banyak mendorong berkembangnya profesi adalah:
1) Tumbuhnya pasar modal
2) Pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun non-bank.
3) Adanya kerjasama IAI dengan Dirjen Pajak dalam rangka menegaskan peran akuntan publik dalam pelaksanaan peraturan perpajakan di Indonesia
4) Berkembangnya penanaman modal asing dan globalisasi kegiatan perekonomian.

Pada awal 1992 profesi akuntan publik kembali diberi kepercayaan oleh pemerintah (Dirjen Pajak) untuk melakukan verifikasi pembayaran PPN dan PPn BM yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak. Sejalan dengan perkembangan dunia usaha tersebut, Olson pada tahun 1979 di dalam Journal Accountanty mengemukakan empat perkembangan yang harus diperhatikan oleh profesi akuntan yaitu:
1) Makin banyaknya jenis dan jumlah informasi yang tersedia bagi masyarakat
2) Makin baiknya transportasi dan komunikasi
3) Makin disadarinya kebutuhan akan kualitas hidup yang lebih baik
4) Tumbuhnya perusahaan-perusahaan multinasional sebagai akibat dari fenomena pertama dan kedua.

Konsekuensi perkembangan tersebut akan mempunyai dampak terhadap perkembangan akuntansi dan menimbulkan:
1) Kebutuhan akan upaya memperluas peranan akuntan, ruang lingkup pekerjaan akuntan publik semakin luas sehingga tidak hanya meliputi pemeriksaan akuntan dan penyusunan laporan keuangan.
2) Kebutuhan akan tenaga spesialisasi dalam profesi, makin besarnya tanggung jawab dan ruang lingkup kegiatan klien, mengharuskan akuntan publik untuk selalu menambah pengetahuan.
3) Kebutuhan akan standar teknis yang makin tinggi dan rumit, dengan berkembangnya teknologi informasi, laporan keuangan akan menjadi makin beragam dan rumit.

Tahun 2001, Departemen Keuangan mengeluarkan Draft Akademik tentang Rancangan Undang-Undang Akuntan Publik yang baru. Dalam draft ini disebutkan bahwa tujuan dibenetuknya UU Akuntan Publik adalah :
1.   Melindungi kepercayaan publik yang diberikan kepada akuntan public.
2.   Memberikan kerangka hukum yang lebih jelas bagi akuntan publik.
3.   Mendukung pembangunan ekonomi nasional dan menyiapkan akuntan dalam   menyongsong era liberalisasi jasa akuntan publik.

Sumber :