LATAR BELAKANG
Auditing dapat mengurangi asimetri informasi
antara manajemen dan stakeholders perusahaan dengan memungkinkan pihak
diluar perusahaan untuk memverifikasi validitas laporan keuangan. Sedangkan
opini audit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan laporan audit. Opini
audit diekspresikan dalam paragraf pendapat yang merupakan bagian dari laporan
audit. Standar Pemeriksaan Akuntan Publik (SPAP,2001:110 alinea 1) menyatakan
bahwa dalam penugasan umum, auditor ditugaskan untuk memberikan opini atas
laporan keuangan suatu satuan usaha.
Opini yang diberikan merupakan suatu pernyataan
kewajaran dalam semua hal yang material atas posisi keuangan, hasil usaha dan
arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum. Paragraf pendapat
dalam laporan audit dengan tegas menyatakan bahwa yang diberikan adalah suatu
pendapat, dan bukan suatu pernyataan mutlak atau jaminan. Tanggung jawab
auditor terletak pada opini yang diberikan dan isi dari laporan keuangan yang
diaudit adalah tanggung jawab manajemen sepenuhnya.
Terdapat lima jenis opini
yang dapat diberikan oleh auditor setelah selesai melakukan pengauditan atas
laporan keuangan perusahaan klien (PSA
29, 2001, para : 10), yaitu Pendapat
wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), Wajar tanpa
pengecualian dengan bahasa penjelas (unqualified with emphasis matter), Wajar
dengan Pengecualian (Qualified Opinion), Tidak Wajar (Adverse
Opinion) dan Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer Opinion).
Namun demikian, dalam
kondisi ketidak pastian seperti perusahaan mengalami financial distrss
maka auditor diminta untuk mengevaluasi rencana manajemen untuk mengatasi
kesulitan keuangan sebelum memutuskan memberikan opini going concern. Auditor
perlu berhati-hati dalam membuat keputusan opini tersebut karena opini going
concern yang diterima perusahaan merupakan sinyal adanya keraguan auditor
atas kelangsungan usaha perusahaan.
Opini going concern yang diterima
perusahaan dapat mengakibatkan menurunnya harga saham (Jones, 1996), kesulitan
perusahaan mencari pinjaman (Firth,1980) maupun mempercepat kebangkrutan
perusahaan atau self fulfilling prophecy effect (Mutchler, 1984;
Hopwood,1989) maupun dapat berdampak terhadap auditor seperti berpindahnya
klien (Carcello dan Neal, 2000). Oleh karena dampak dikeluarkannya opini
tersebut dapat berakibat bagi perusahaan maupun auditor atau kantor akuntan
publik maka auditor perlu berhati-hati sebelum membuat keputusan opini going
concern. Auditor perlu memahami secara cermat tentang standar yang mengatur
tentang keputusan opini going concern.
TUJUAN
Membahas secara ringkas tentang pengertian dan
pentingnya opini audit bagi pengguna laporan keuangan. Hal ini dikarenakan
opini laporan keuangan sangat berguna bagi pengambil keputusan ekonomi
khususnya investor dan kreditor (Lev,1989). Bagi perusahaan financial
distress, kemungkinan untuk memperoleh opini going concern lebih
besar dibandingkan perusahaan yang tidak mengalami financial distress.
Lebih lanjut, standar yang relevan dengan
keputusan opini going concern mengalami perkembangan, dimulai dari SASs
130 dari APB, SAS 59 dari AICPA maupun implementasinya di Indonesia dengan PSA
30 serta perkembangan terakhir dari IFAC dengan mengeluarkan ISA 570.
PEMBAHASAN
Opini Going-Concern.
Menurut Belkoui (2000) going concern adalah dalil yang
menyatakan bahwa suatu entitas akan menjalankan terus operasinya dalam jangka
waktu yang cukup lama untuk mewujudkan proyeknya, tanggung jawab serta
aktivitas-aktivitasnya yang tiada henti. Dalil ini memberikan gambaran bahwa
entitas akan diharapkan untuk beroperasi dalam jangka waktu yang tidak terbatas
atau tidak diarahkan menuju arah likuidasi. Sebagai contoh biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh peralatan, persediaan dsb, seperti asset
diharapkan untuk memberikan manfaat beberapa periode mendatang, hal tersebut
didasarkan pada asumsi bahwa perusahaan akan terus eksis dimasa yang akan
datang.
Going concern dipakai sebagai asumsi dalam laporan keuangan sepanjang tidak terbukti
adanya informasi yang menunjukkan hal berlawanan. Biasanya informasi yang
signifikan dianggap berlawanan dengan asumsi kelangsungan hidup usaha adalah
berhubungan dengan ketidakmampuan satuan usaha dalam memenuhi kewajiban pada
saat jatuh tempo tanpa melakukan penjualan sebagian besar aktiva kepada pihak
luar melalui bisnis biasa, restrukturisasi hutang, kerugian operasi yang
berulang terjadi dan kegiatan serupa yang lain (PSA 30, para 1)
Opini audit laporan
keuangan adalah salah satu pertimbangan yang penting bagi investor dalam
menentukan keputusan berinvestasi. Oleh karena itu auditor dalam mengeluarkan
opini audit suatu perusahaan perlu memberikan suatu pernyataan mengenai
kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidup usahanya. Apabila
ada keraguan mengenai kelangsungan hidup suatu perusahaan maka auditor perlu
mengungkapkan dalam laporan opini audit (Going Concern Audit Report) dimana
auditor diizinkan untuk memilih apakah akan mengeluarkan unqualified
modified report atau disclaimer opinion. Opini going concern merupakan
istilah yang digunakan Mutchler (1986), Ramadhany (2004) dan Rahayu (2006)
untuk opini audit selain opini wajar tanpa pengecualian (unqualified
opinion).
Terdapat lima kondisi yang menyebabkan adanya
penyimpangan dari opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), yaitu:
Kondisi 1. Ruang Lingkup Audit Dibatasi.
Auditor tidak berhasil mengumpulkan bukti-bukti
audit yang mencukupi untuk mempertimbangkan apakah laporan keuangan yang telah
diperiksanya disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum di
Indonesia, berarti bahwa ruang lingkup auditnya terbatas. Ada dua penyebab
utama, yaitu pembatasan yang dipaksakan oleh klien yang disebabkan oleh keadaan
diluar kekuasaan auditor maupun klien. Contoh pembatasan oleh klien adalah
auditor tidak diperbolehkan melakukan konfirmasi utang piutang atau tidak
diperbolehkan memeriksa aset-aset tertentu yang dimiliki oleh klien. Sedangkan
contoh pembatasan yang disebabkan oleh keadaan diluar kekuasaan auditor maupun
klien adalah sulit melakukan pemeriksaan fisik aset karena lokasi tidak bisa
dijangkau akibat banjir atau bencana lainnya.
Kondisi 2. Laporan keuangan yang
diperiksa tidak sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum di Indonesia.
Contoh kondisi ini adalah jika klien tidak
bersedia mengubah kebijakan mencatat nilai aset tetap berdasarkan harga
penggantian (replacement cost) dan bukannya harga historis (historical
cost) yang dipersyaratkan oleh prinsip akuntansi yang umum berlaku di
Indonesia. Atau klien menilai persediaan yang dimilikinya berdasarkan harga
jual (selling price) dan bukannya harga historis atau harga yang
terendah antara harga historis dan harga pasar (cost or matket whichever is
lower)
Kondisi 3. Prinsip akuntansi
yang diterapkan dalam laporan keuangan tidak diterapkan secara konsisten.
Jika klien mengganti suatu perlakukan prinsip
akuntansi dengan prinsip akuntansi yang lain, misalnya mengganti metode
pencatatan persediaan dari First in First Out (FIFO) menjadi Last In
First Out (LIFO), maka perubahan tersebut harus dinyatakan dalam laporan
audit. Bahkan jika penggunaan perubahan tersebut disetujui oleh auditor,
pendapat unqualified tetap tidak dapat dibenarkan.
Kondisi 4. Ada beberapa
ketidakpastian yang meterial yang mempengaruhi laporan keuangan yang tidak
dapat diperkirakan kelanjutannya pada saat laporan audit dibuat.
Contoh kondisi ini adalah kemungkinan adanya
tuntutan hukum kepada klien yang belum terselesaikan sampai dengan selesainya
pekerjaan lapangan oleh auditor.
Kondisi 5. Auditor tidak independen.
Hal ini sangat jelas tidak diperkenankan
memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian. Masalah independen auditor diatur
secara jelas dalam standar auditing.
Pentingnya laporan audit yang berhubungan dengan going
concern perusahaan adalah untuk memberikan peringatan awal bagi pemegang
saham guna menghindari kesalahan dalam pembuatan keputusan. Hal ini telah
diatur dalam PSA 29 paragraf 11 yang menyatakan bahwa keraguan yang besar
tentang kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (going
concern) merupakan keadaan yang mengharuskan auditor menambahkan paragraf
penjelasan dalam laporan audit walaupun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa
pengecualian.
Akers et al. (2003)
menyatakan bahwa auditor tidak diminta untuk melakukan prosedur audit khusus
untuk menentukan adanya keraguan akan kemampuan perusahaan untuk mempertahankan
usahanya. Prosedur audit yang dilakukan sama dengan prosedur audit lainnya,
antara lain seperti prosedur analitik, penelaahan ketaatan perusahaan terhadap
perjanjian hutang . Dalam melaksanakan prosedur audit, auditor bertanggung
jawab untuk mengevaluasi adanya kondisi dan peristiwa yang dapat menimbulkan
kesangsian besar terhadap kemampuan perusahaan untuk mempertahankan hidupnya
(PSA 30) seperti antara lain adanya modal kerja
negatif, rugi operasi , arus kas operasi negatif, buruknya rasio-rasio
keuangan penting, adanya tuntutan
pengadilan / litigasi, hilangnya manajemen kunci. Konsisten dengan temuan
Mutchler (1984) yang meneliti persepsi auditor tentang pembuatan keputusan
opini going concern, hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar auditor
tidak melakukan prosedur audit khusus untuk mendeteksi adanya masalah going
concern
Perkembangan Standar Audit Yang Relevan Dengan
Keputusan Opini Going Concern
Untuk dapat memahami
lebih dalam tentang opini going concern perlu kiranya memahami peraturan
yang terkait dengan peraturan going concern dari awal periode sampai
saat ini. Terdapat empat standar auditing yang mengatur tentang opini going
concern, yaitu SASs 130 dari APB (UK), SAS 59 dari AICPA, SPAP 29 dan 30
dari IAI dan ISA 570 dari IFAC .
1. SASs 130 ( APB )
Konsep going concern untuk pertama kalinya
diperkenalkan secara formal pada tahun 1980 ketika U.K Auditing Practices
Committee (APC) mengeluarkan standar auditing pertama. Namun standar tersebut
tidak memasukkan petunjuk khusus tentang going concern tetapi hanya
merujuk konsep dalam contoh laporan audit.
Pada tahun 1985, pertama
kalinya di U.K mengeluarkan petunjuk secara spesifik tentang auditing yang
terkait dengan going concern dengan judul “The Auditor’s
Consideration in Respect of Going Concern” (APC,1985b). Pada tahun tersebut,
pedoman audit menyatakan dengan jelas bahwa persiapan dan publikasi laporan
keuangan merupakan tanggung jawab utama direktur dan Company Act (1985) meminta
direktur untuk mempersiapkan laporan keuangan dengan asumsi bahwa perusahaan
akan berjalan terus / going concern. Pedoman APC (1985, para 1-2)
mengklarifikasi bahwa tanggung jawab direktur adalah tentang kecukupan asumsi
dasar pada laporan keuangan. Penyimpangan terhadap prinsip going concern dapat
dilakukan oleh direktur jika terdapat alasan tertentu. Penjelasan dari
penyimpangan, alasan melakukan penyimpangan dan dampak yang ditimbulkan diminta
untuk diungkapkan dalam laporan keuangan. Pedoman auditing yang sama juga
mempertimbangkan adanya istilah “foreeable future”, yang memberikan
petujunjuk bahwa secara normal dapat diperluas sampai enam bulan setelah
tanggal laporan keuangan atau satu tahun setelah tanggal laporan keuangan
tergantung periode mana yang terakhir.
Apabila
ketidakpastian dari going concern tidak dapat diestimasikan dan
diungkapkan, pedomannya menyatakan untuk memberikan tipe kualifikasi “subject
to” (APC,1985,para 27-28) jika masih terkait dengan konsep going concern
yang material bukan fundamental. Namun apabila ketidakpastian
dipertimbangkan sebagai hal yang “fundamental”, pedomannya memberikan petunjuk
untuk “disclaimer opinion” yang lebih layak (APC,1985,para 29) dan
didalam beberapa kasus dimana bukti dari going concern sulit untuk tidak
dimunculkan direkomendasi untuk opini “except for” atau “adverse” (APC,
1985, para.30). Pada tahun 1985 terdapat petunjuk untuk mengeluarkan unqualified
opinion apabila ketidak pastian dapat secara layak untuk diperkirakan dan
diungkapkan atau pekerjaan audit tidak dapat mengungkap adanya bukti yang “contrary”
atau apabila evaluasi terhadap “mitigating factors” menyatakan bahwa
asumsi going concern masih dapat dipertahankan.(APC,1985, para 12 dan
13). Keputusan going concern merupakan hal penting dalam pertimbangan
professional (APC,1985, para 22) karena mengandung unsur subyektivitas dalam
evaluasi auditor terhadap masalah going concern. SASs 130 pada akhirnya
memberikan penekanan bahwa auditor tidak seharusnya menahan diri dalam
memberikan kualifikasi pada laporannya jika terdapat hal-hal yang berlawanan
dan Self-fulfilling prophecy dirasakan
berkaitan secara khusus dengan petunjuk ini.
Berkaitan dengan SASs 130, disajikan gambar yang akan memberikan persepsi
yang lebih jelas tentang posisi opini going concern diantara opini
lainnya dalam laporan audit.
2. SAS NO.59 ( AICPA )
Peraturan going concern di
USA dimulai tahun 1942 ketika AICPA mengeluarkan “Statement on Auditing
Procedure” (SAP) No.15 pada tahun 1942, untuk mempertimbangkan dampak
ketidak pastian (uncertainties) dalam laporan audit. Pernyataan tersebut
mengemukakan bahwa apabila terdapat dampak dari ketidak pastian yang secara
kumulatif jumlahnya cukup besar maka auditor harus melaporkan pengecualian atau
kemungkinan untuk tidak mengeluarkan pendapat. Selanjutnya SEC didalam Accounting
Series Release (ASR) No.90 (1962) dan AICPA didalam SPAP No.33 (1963)
meminta opini audit “qualified” dengan kalimat “subject to“ ketika ketidak pastian secara material
mempengaruhi laporan keuangan .
Pertama kali perhatian secara
terpisah tentang ketidakpastian going concern diberikan melalui “Satetement
on Auditing Standards” (SAS) No.2 (1974) yang memasukkan adanya ketidak
pastian tentang kemampuan perusahaan untuk melanjutkan usahanya yang harus
dilaporkan dalam ketidakpastian lainnya. Kemudian pada tahun 1981, the Auditing
Standards Board (ASB) mengeluarkan SAS No.34, “The Auditor’s Consideration
When a Question Arises about an Entity’s Continued Existence” yang
memberikan petunjuk operasional kepada auditor ketika timbul pertanyaan tentang
keberlanjutan perusahaan. Berkaitan dengan adanya premis bahwa laporan harus
dimodifikasi jika terdapat ketidak
pastian going concern (berlawanan dengan Cohen Comission’s 1978
yang merekomendasi untuk menghilangkan laporan modifikasi tentang
ketidakpastian), SAS No.34 mempertahankan kualifikasi “subject to”.
Walaupun dengan SAS No.34 , auditor diminta untuk mempertimbangkan isu going
concern ketika hasil dari prosedur audit menemukan adanya informasi yang
berlawanan dengan keberlanjutan usaha. SAS No.34 bersifat pasif dimana auditor
tidak diminta untuk mencari bukti yang terkait dengan keberlanjutan perusahaan,
Going concern masih diasumsikan.
Setelah mempertimbangkan dengan
seksama the Auditing Standars Board, pada tahun 1988 mengeluarkan SAS No.
59 tentang “ The Auditor’s
Consideration of an Entity’s Ability to Continue as a Going Concern”, yang
didalam paragraph 2 menyebutkan :
“The auditor has a responsibility to
evaluate whether there is substantial doubt abaut the entity ability to continue
as going concern for reasonable period of time, not to exceed one year beyond
the date of the financial statements being audited (hereinafter referred to as
reasonable period of time). The auditors evaluation is based on his knowledge
of relevant conditions and events that exist at or have occurred prior to the
completion of fieldwork. Information about such conditions or events is obtain
from the application of auditing procedures planned and performed to achieve
audit objectives that are related to managements
assertions embodied in the financial statements being audited, as described in
Seksi 326, Evidential Matter”
AU Seksi 341 (SAS No.59) mengharuskan
auditor memberikan warning kepada pemakai laporan keuangan, akan adanya
suatu kesangsian mengenai kemampuan perusahaan sebagai suatu entitas, untuk
bisa bertahan hidup, paling tidak dalam satu periode akuntansi setelah periode
laporan keuangan atau disebut juga dengan “periode waktu pantas”. Entitas yang
dimaksud disini adalah “economic entity” bukan “legal entity” . Pada
beberapa kasus bisa saja ditemukan adanya perusahaan yang secara ekonomi tidak
lagi beroperasi, tetapi secara legal belum dibubarkan atau yang dikenal dengan
istilah ”PT Kosong”.
SAS No.59 meminta auditor secara aktif
untuk mempertimbangkan apakah hasil prosedur pemeriksaan yang dilakukan
menunjukkan adanya keraguan tentang kemampuan perusahaan untuk melanjutkan
usahanya sebagai going concern . Standard tersebut memberikan petunjuk
tentang kondisi atau kejadian yang perlu dipertimbangkan auditor ketika
terdapat informasi yang bertentangan dengan asumsi pelaporan keuangan yang
menyatakan perusahaan akan tetap eksis. Kondisi dan kejadian tersebut termasuk
trend negative seperti kerugian operasi yang berulang, kegagalan dalam membayar
pinjaman, restrukturisasi hutang, berhentinya pekerjaan dan kesulitan masalah
tenaga kerja dan faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan hambatan perusahaan
untuk beroperasi. SAS No.59 juga meminta auditor untuk mempertimbangkan rencana
manajemen untuk mengatasi kondisi kesulitan tersebut. Jika terdapat keraguan
tentang kemampuan perusahaan untuk melanjutkan usahanya dalam satu periode
waktu yang tidak lebih dari satu tahun setelah tanggal laporan keuangan dan setelah
mengevaluasi rencana manajemen maka
auditor harus memasukkan paragraph penjelas dalam opininya.
SAS 59 memperluas dengan “ ……the
auditor’s traditional role in reporting on the ability of the company to stay
in business beyond the effect on assets and liabilities”. Pernyataan
tersebut sebelumnya telah tercantum pada SAS No.34 ( Ellingsen et.al.,1989).
SAS No.58 merubah format laporan audit going concern seperti laporan
yang meminta perhatian terhadap adanya ketidakpastian, dengan paragraph
penjelasan ketika terjadi keraguan besar terhadap kemampuan perusahaan untuk
melanjutkan usahanya. Setelah SAS No.59 , laporan audit going concern
dipertimbangkan menjadi “modified”
opinion. Beberapa penelitian tentang keputusan opini going concern menggunakan
data dari periode waktu sebelum diberlakukannya SAS No.59. Penelitian pertama
yang menggunakan data setelah SAS No.59 dilakukan oleh Raghunandan and Rama
(1995) yang membuktikan bahwa auditor mengeluarkan opini going concern
baik kepada perusahaan yang kemudian menjadi bangkrut maupun kepada perusahaan
yang mengalami kegagalan keuangan tetapi tidak bangkrut. Mereka juga
membuktikan bahwa proporsi perusahaan bangkrut yang sebelumnya menerima opini going
concern secara signifikan lebih besar setelah berlakunya SAS No.59 secara
efektif, dilaporkan sejumlah 62% perusahaan bangkrut setelah SAS No.59
sebelumnya menerima opini going concern satu tahun sebelum kebangkrutan.
3. Pernyataan Standar Auditing (PSA) No.30. ( IAI )
Indonesia mengadopsi AU Seksi 341 (SAS
No.59) menjadi SA Seksi 341 (PSA No.30)
tentang “ Pertimbangan Auditor atas Kemampuan Entitas dalam
Mempertahankan Kelangsungan Hidupnya”, yang berlaku secara efektif mulai
tahun 1998. SA seksi 341 paragraf
2 mewajibkan auditor bertanggung jawab untuk mengevaluasi apakah terdapat
kesangsian besar terhadap kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya dalam periode pantas tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal laporan
keuangan diaudit. Auditor harus melakukan evaluasi apakah terdapat “kesangsian”
bukan “kepastian”. Kesangsian dimaksud berada antara tanggal neraca hingga
tanggal neraca tahun berikutnya, atau dengan kata lain mencakup juga semua
peristiwa setelah tanggal neraca ( peristiwa kemudian ). Peristiwa
setelah tanggal neraca harus dievaluasi, untuk menentukan ada tidaknya
kesangsian besar terhadap kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Berkaitan dengan laporan
auditor atas laporan keuangan auditan, PSA 29 paragraf 11 menyatakan bahwa keraguan yang besar tentang
kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (going
concern) merupakan keadaan yang mengharuskan auditor menambahkan paragraf
penjelasan dalam laporan audit walaupun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa
pengecualian
PSA 30 paragraf 6
menyebutkan bahwa auditor dapat mengidentifikasi informasi mengenai kondisi
atau peristiwa tertentu yang jika dipertimbangkan secara keseluruhan,
menunjukkan adanya kesangsian besar tentang kemampuan entitas dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu yang pantas.Contoh
kondisi dan peristiwa tersebut :
- Trend negatif, sebagai contoh kerugian operasi yang berulangkali terjadi, kekurangan modal kerja, arus kas negatif dari kegiatan usaha, rasio keuangan penting yang jelek.
- Petunjuk lain tentang kemungkinan kesulitan keuangan, sebagai contoh kegagalan dalam memenuhi kewajiban utangnya atau perjanjian serupa, penunggakan pembayaran deviden, penolakan oleh pemasok terhadap pengajuan permintaan kredit biasa, restrukturisasi utang, kebutuhan untuk mencari sumber atau metode pendanaan baru atau penjualan sebagian besar aktiva.
- Masalah intern, sebagai contoh, pemogokan kerja atau kesulitan hubungan perburuhan yang lain, ketergantungan besar atas sukses proyek tertentu, komitmen jangka panjang yang tidak bersifat ekonomis, kebutuhan untuk secara signifikan memperbaiki operasi.
- Masalah luar yang terjadi, sebagai contoh, pengaduan gugatan pengadilan, keluarnya undang-undang atau masalah masalah lain yang kemungkinan membahayakan kemampuan entitas untuk beroperasi ; kehilangan franchise, lisensi atau paten penting, kehilangan pelanggan atau pemasok utama ; kerugian akibat bencana besar seperti gempa bumi, banjir, kekeringan , yang tidak diasuransikan atau diasuransikan namun dengan pertanggungan yang tidak memadai.
PSA 30 paragraf 10 –
14 memberikan pedoman kepada auditor
tentang dampak kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya terhadap opini auditor, pedoman tersebut sebagai berikut :
v Jika auditor yakin bahwa terdapat kesangsian
mengenai kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya
dalam jangka waktu yang pantas, maka auditor harus :
1. Memperoleh informasi mengenai rencana manajemen
yang ditujukan untuk mengurangi dampak kondisi dan peristiwa tersebut.
2. Menetapkan kemungkinan bahwa rencana tersebut
secara efektif dilaksanakan.
v Jika manajemen tidak memiliki rencana yang
mengurangi dampak kondisi dan peristiwa terhadap kemampuan satuan usaha dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya, auditor mempertimbangkan untuk memberikan
pernyataan tidak memberikan pendapat ( Discalimer )
v Jika manajemen memiliki rencana tersebut, langkah
selanjutnya yang harus dilakukan oleh auditor adalah menyimpulkan (berdasarkan
pertimbangannya) atas efektivitas rencana tersebut,
1. Jika auditor berkesimpulan rencana tidak efektif,
maka auditor menyatakan tidak memberikan pendapat (Disclaimer)
2. Jika auditor berkesimpulan rencana tersebut
efektif dan klien mengungkapkan keadaan tersebut dalam catatan atas laporan
keuangan, maka auditor menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian (Unqualified Opinion With Emphasis of
Matter Paragraph)
3. Jika auditor berkesimpulan rencana tersebut
efektif akan tetapi klien tidak mengungkapkan keadaan tersebut dalam catatan
atas laporan keuangan maka auditor menyatakan pendapat tidak wajar (Qualified/
Adverse Opinion)
4. International Standard On Auditing (ISA) No. 570 ( IFAC )
International Standard on Auditing (ISA)
dikeluarkan oleh International Federation of Accountants (IFAC) yang merupakan
panduan audit di negara-negara anggota IFAC. IFAC telah mengeluarkan ISA No.
570 tentang “ Going Concern” yang berlaku efektif sejak tahun 2004. ISA
No.570 menegaskan bahwa tanggung jawab auditor eksternal hanya melakukan
pertimbangan atas ketetapan asumsi going concern yang digunakan oleh
manajemen dalam menyusun laporan keuangan. ISA No.570 menegaskan bahwa going
concern entitas yang diaudit harus dapat dipertahankan paling tidak dua
belas bulan setelah tanggal neraca. Berbeda dengan AU seksi 341, yang secara
kaku menyebutkan bahwa going concern harus dapat dipertahankan selama
periode waktu yang pantas yang tidak lebih dari dua belas bulan setelah tanggal
neraca. Standar tersebut tidak memberikan pembatasan, hal ini bertujuan agar
auditor tidak mengabaikan informasi terkait dengan peristiwa setelah tanggal
neraca yang dapat diperoleh dari catatan atas laporan keuangan. Disamping hal
tersebut, ISA No.570 paragraf 10 juga menegaskan bahwa tidak terdapatnya
penjelasan mengenai adanya ketidakpastian oleh auditor eksternal pada opininya,
tidaklah menjadi jaminan bahwa kelangsungan hidup perusahaan tidak akan
bermasalah.
Evaluasi atas kemampuan entitas
bisnis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, dilakukan oleh auditor
eksternal atas data keuangan dan non-keuangan yang dia peroleh. Bukan tidak
mungkin terdapat faktor eksternal yang tidak dapat diprediksi sebelumnya, yang
mengakbatkan suatu entitas bisnis mengalami kebangkrutan. Jika itu terjadi,
maka hal tersebut diluar tanggung jawab auditor eksternal. Opini audit yang
diberikan oleh auditor dapat dilihat dari diagram berikut ini :
PENUTUP
Standar audit yang relevan dengan keputusan opini going
concern secara keseluruhan mengatur tentang opini yang diberikan auditor,
apabila terdapat peristiwa yang menimbulkan keraguan auditor atas kelangsungan
usaha perusahaan. Opini tersebut perlu diperhatikan oleh pengguna laporan
keuangan karena memberi indikasi bahwa perusahaan sedang menghadapi masalah going
concern.
Perbedaan yang sangat jelas antara SA seksi 341 atau
PSA 30 (2001) yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dengan
standar yang terakhir yaitu ISA No.570 adalah dalam hal peranan auditor
eksternal dalam mengevaluasi asumsi yang digunakan manajemen perusahaan dalam
menyusun laporan keuangan. ISA No. 570 menyerahkan sepenuhnya penaksiran kepada manajemen
perusahaan, dan auditor eksternal hanya melakukan evaluasi apakah manajemen
telah menggunakan asumsi yang benar. ISA No.570 tidak memberikan pedoman bagi
akuntan publik dalam pemodifikasian laporan keuangan. Auditor eksternal hanya
diperbolehkan memodifikasi opini audit. Berbeda dengan SA seksi 341 yang
membolehkan keterlibatan auditor dalam pemodifikasian laporan keuangan dengan
memberikan pedoman pengungkapan laporan keuangan.